Ekonomi Islam pernah
tidak populer sama sekali. Kepopuleran ekonomi Islam bisa dikatakan masih belum
lama. Oleh karena itu, sering muncul pertanyaan, apakah ekonomi Islam adalah
baru sama sekali? Jika melihat pada sejarah dan makna yang terkandung dalam
ekonomi Islam, ia bukan sistem yang baru. Argumen untuk hal ini antara lain:
1.
Islam sebagai agama
samawi yang paling mutakhir adalah agama yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti ditegaskan Allah
dalam surat Al-Maidah (5):3. Di sisi lain, Allah SWT juga telah menjamin
kelengkapan isi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang beriman dalam
menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini ditegaskan
Allah SWT dalam firmannya QS Al-An’am (6):38,
2.
Sejarah mencatat bahwa
umat Islam pernah mencapai zaman keemasan, yang tidak dapat disangkal siapapun. Dalam masa itu, sangat
banyak kontribusi sarjana muslim yang tetap sangat diakui oleh semua pihak
dalam berbagai bidang ilmu sampai saat ini, seperti matematika, astronomi,
kimia, fisika, kedokteran, filsafat dan lain sebagainya. Sejarah juga
membuktikan, bahwa sulit diterima akal sehat sebuah kemajuan umat dengan begitu
banyak kontribusi dalam berbagai lapangan hidup dan bidang keilmuan tanpa
didukung lebih awal dari kemajuan di lapangan ekonomi.
3.
Sejarah juga mencatat
banyak tokoh ekonom muslim yang hidup dan berjaya di zamannya masing-masing, seperti Tusi, Al-Farabi, Abu
Yusuf, Ibnu Taimiyyah, Al-Maqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun dan lain-lain.
Bahkan yang disebut terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David Jean Boulakia
sebagai berikut:
“Ibn Khaldun
discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries
before their official births. He discovered the virtues and the necessity of a
division of labor before (Adam) Smith and the principle of labor before
Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on
the role of the state in the economy before Keynes. The economist who
rediscovered mechanisms that he had already found are too many to be named.” “.
. . although Ibn Khaldun is the forerunner of many economist, he is an accident
of history and has no consequence on the evolution of economic thought.”
Menurut Khurshid
Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada empat tahapan perkembangan
dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu:
1. Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian
ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki
pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba
untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu
haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan
konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu
membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
syariah dan bukan pada bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah
keyakinan yang begitu teguh haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif.
2.
Tahapan kedua, dimulai
pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom Muslim yang pada
umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serika dan
Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter
Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan
mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian
konferensi dan seminar internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar
beberapa kali dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim maupun
non-muslim. Konferensi internasional pertama tentang ekonomi Islam digelar di
Makkah al-Mukarromah pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi
internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional yang baru di London
pada tahun 1977. Setelah itu digelar dua seminar tentang Ekonomi Moneter dan
Fiskal dalam Islam di Makkah pada tahun 1978 dan di Islamabad pada tahun 1981. Kemudian
diikuti lagi oleh konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi kerja sama
ekonomi yang diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun 1982 yang kemudian
diikuti Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad pada
tahun 1983.
Belasan
buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan seminar ini digelar
yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang Ekonomi Islam baik
dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad, kontribusi yang paling
signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi adalah laporan
yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba
dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum bunga bank yang
telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini, tetapi juga memberikan
pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian.Pada tahapan kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal di seluruh dunia Islam anatara lain Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan sebagai bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M. A. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah ekonom muslim yang dididik di Barat tetapi memahami sekali bahwa Islam sebagai way of life yang integral dan komprehensif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang berwibawa di mata dunia.
3. Tahapan ketiga, ditandai dengan upaya-upaya
konkrit untuk mengembangkan perbankan
dan lembaga-lembaga
keuangan non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah.
Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material
para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim yang
memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah
mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan
konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang
pertama kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di
Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasa sama antara
negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Tidak lama kemudian disusul oleh Dubai Islamic Bank. Setelah itu banyak sekali
bank-bank Islam bermunculan di mayoritas negara-negara muslim termasuk di
Indonesia.
4. Tahapan keempat, ditandai dengan pengembangan
pendekatan yang lebih integratif dan
sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek
ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator
ekonomi umat.
Tiga Prinsip Dasar
Yang Menyangkut sistem ekonomi Syariah menurut Islam
1. Tawhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa
dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah
Allah SWT.
2. Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia
adalah khalifah atau wakil Allah di muka
bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan
mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup
dalam rangka menyebarkan misi hidupnya.
3. ‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan
tujuan syariah (maqasid al-Syariah).
Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa
semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk
merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need fullfillment),
menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi
pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and
wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
Empat Ciri/Sifat
Sistem Islam
1.
Kesatuan (unity)
2.
Keseimbangan (equilibrium)
3.
Kebebasan (free will)
4.
Tanggungjawab (responsibility)
Di Indonesia ekonomi
syariah mulai dikenal sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991.
Selanjutnya ekonomi berbasis syariah di Indonesia ini mulai menunjukan
perkembangan yang menggembirakan. Pada dasarnya, sebagai negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, sudah menjadi kewajiban bagi Umat Islam Indonesia
untuk menerapkan ekonomi syariah sebagai bukti ketaatan dan ketundukan
masyarakat pada Allah SWT dan Rasulnya. Penerapan hukum syariah bukan hanya
terbatas pada bank-bank saja, tapi sudah menjalar ke bisnis asuransi, bisnis
multilevel marketing, koperasi bahkan ke pasar modal.
Sistem Perekonomian
Islam bersifat universal artinya dapat digunakan oleh siapapun tidak terbatas
pada umat Islam saja, dalam bidang apapun serta tidak dibatasi oleh waktu
ataupun zaman sehingga cocok untuk diterapkan dalam kondisi apapun asalkan
tetap berpegang pada kerangka kerja atau acuan norma-norma islami. Al-Qur’an
dan Al-Hadits merupakan landasan hukum yang lengkap dalam mengatur segala aspek
kehidupan ummat, khususnya di bidang ekonomi antara lain:
- Islam dirancang
sebagai rahmat untuk seluruh ummat, menjadikan kehidupan lebih sejahtera dan
bernilai,
tidak miskin dan tidak menderita (Q.S. Al-Anbiya : 107).
- Harta adalah amanat
Allah, untuk mendapatkan dan memanfaatkannya harus sesuai dengan ajaran Islam
(Q.Q. Al-Anfal : 28).
- Larangan menjalankan
usaha yang haram (Q.S.Al-Baqarah : 273-281).
- Larangan merugikan
orang lain (Q.S.Asy-Syuara : 183).
- Kesaksian dalam
mu’amalah (Q.S.Al-Baqarah : 282-283), dll.
Telah terbukti
dengan adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia dan Asia
beberapa waktu yang lalu bahwa sistem yang kita anut dan dibanggakan selama ini
khususnya di bidang perbankan kiranya tidak mampu untuk menanggulangi dan
mengatasi kondisi yang ada, bahkan terkesan sistem yang ada saat ini dengan
tidak adanya nilai-nilai Ilahi yang melandasi operasional perbankan dan lembaga
keuangan lainnya sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya “perampok berdasi”
yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa Indonesia sendiri.
Sebaliknya bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan Islam yang dalam
operasionalnya bersendi pada Syari’ah Islam, krisis ekonomi dan moneter yang
terjadi merupakan moment positif dimana bisa menunjukkan dan memberikan bukti
secara nyata dan jelas kepada dunia perbankan khususnya bahwa Bank yang
berlandaskan Syari’ah Islam tetap dapat hidup dan berkembang dalam kondisi
ekonomi yang tidak menguntungkan.
Dengan bukti di atas,
sudah saatnya bagi para penguasa negara, alim ulama dan cendekiawan muslim
Indonesia untuk membuka mata dan merubah cara pandang yang ada bahwa Sistem
Perbankan Syari’ah merupakan alternatif yang cocok untuk ditumbuh kembangkan
dalam dunia perbankan Indonesia dewasa ini. Namun disayangkan perkembangan
Perbankan Syari’ah di Indonesia terkesan lambat dan kurang dikelola secara
serius, terbukti dari data yang diperoleh dari BI Surabaya per Maret 2000
jumlah BPR Konvensional yang ada di Jawa Timur mencapai 427 sedangkan BPR
Syari’ah baru mencapai 6 (1,4%), dimana 5 diantaranya tergolong sehat dan 1
kurang sehat.
Kurang berkembangnya
Sistem Perekonomian Islam, khususnya Perbankan Syari’ah di Indonesia terletak
pada umat Islam sendiri. Masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum paham
akan ekonomi Islam ataupun tidak menjalankan sebagaimana mestinya, banyak
diantaranya yang merasa takut menjadi miskin karenanya, padahal dalam Q.S
Al-Baqarah : 268 dikatakan:
“Syaitan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Apabila perekonomian
di Indonesia telah didasari oleh norma-norma Islam tentunya tidak akan
ditemukan kemiskinan ataupun penurunan taraf hidup dan perekonomian ummat
seperti yang terjadi saat ini.
No comments:
Post a Comment