Indonesia
merupakan negara demokrasi konstitusional yakni negara yang
mengedepankan proses berdemokrasi tapi juga berlandaskan
ketentuan-ketentuan hukum (konstitusi), ditandai dengan adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum.
Negara Indonesia menganut konsep pembagian kekuasaan Montesquieu (1689-1785) (trias politica) yang membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang (eksekutif) yang dilaksankan oleh pemerintah dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif) yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial KY yang bukan
lembaga kekuasaan kehakiman, tetapi lembaga negara yang tugasnya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim dengan
demikian, KY adalah lembaga negara yang dibentuk melalui konstitusi
untuk melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim.
Ketiga
kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas
(fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang
menyelenggarakannya. Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan
yudikatif karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi
warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja
Bourbon. Oleh karena itu
jika kinerja kekuasaan kehakiman buruk, maka akan berimplikasi buruk
bagi negara hukum atau bisa dikatakan meniadakan hukum dan mengedepankan
kekuasaan dalam bernegara (machtstaat).
Dalam konteks kekinian, sesungguhnya Indonesia tidaklah demokratis melainkan bergeser ke oligarkis. Dimana pusat-pusat kekuasaan dikuasai oleh sekelompok orang. Di
dalam politik oligarkis agenda-agenda politik ditentukan dan
diperjualbelikan melalui transaksi-transaksi politik dengan uang maupun
jabatan sehingga
kita melihat orang-orang yang menduduki jabatan publik itu-itu saja dan
parahnya lagi keberadaan mereka tidak mendatangkan perubahan yang
signifikan terhadap keamanan dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Mahfud MD Pada tahun pertama dan kedua pasca reformasi tampak konfigurasi politik sedikit berubah menjadi demokratis, sehingga
dalam waktu yang relatif singkat produk hukum ortodoks dibongkar.
Dimulai pada level Undang-Undang sehingga kita dapat melihat pergantian Undang-Undang (UU)
Kepartaian, UU Perwalian, UU Pemilu, UU Pemerintahan Daerah, UU
Kekuasaan Kehakiman, dan sebagainya. Namun demikian setelah dua tahun
pasca reformasi konfigurasi politik bergeser oligarkis.
Demokrasi
yang mengedepankan partisipasi publik dengan slogan dari rakyat, untuk
rakyat dan oleh rakyat sesungguhnya berjalan ditempat atau malah bisa
dikatakan berjalan buruk karena pelaksanaan demokrasi di Indonesia cuma
kulitnya saja sedangkan subtansi dari berdemokrasi belum tercapai. Dapat
dilihat pada produk legislasi DPR yang seharusnya melindungi masyarakat
bawah (kaum proletar) melalui produk hukumnya malah banyak mengabaikan
hak-hak mereka sehingga produk hukum yang dihasilkan bersifat ortodoks.
Padahal DPR merupakan representasi semua rakyat Indonesia bukan
representasi masyarakat kelas atas (kaum borjuis).
Produk hukum yang responsif harus memenuhi unsur sosiologis, filosofis dan yuridis karena sebuah undang-undang bisa dilaksanakan bila memenuhi tiga aspek, yaitu aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan kebanyakan para legislator kita hanya mengedepankan aspek yuridis dan mengabaikan
aspek filosofis dan sosiologis, sehingga banyak eksistensi hukum negara
yang terkesan percuma atau tidak ditaati oleh masyarakat, misalnya UU
No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang tidak berlaku efektif di
provinsi Bali karena pada dasarnya Indonesia masyarakatnya mejemuk namun
seringkali pembentuk undang-undang melakukan penyederhaan permasalahan
dan melakukan penyeragaman padahal negara Indonesia terdiri diatas
kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya.
Politik hukum nasional harus
ditujukan untuk mencapai tujuan negara, yakni: (a) melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia, (b) memajukan kesejahteraan
umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa, (d) melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, namun yang terjadi adalah penghianatan terhadap tujuan negara untuk kepentingan golongan tertentu.
Bahkan
MK selama kurun waktu 9 tahun terkahir telah membatalkan 322 pengajuan
Undang-Undang dari total 46 yang diajukan ditingkat MPR dan DPR sebagai
produk perundang-undangan. Selama berdirinya MK, ada 460 UU yang di
judicial review, MK mengabulkan 138 UU atau sekitar 27 persen dari
jumlah total penganjuan Undang undang, ini menandakan buruknya proses
legislasi DPR dalam membuat peraturan perundang-undangan.
Beda lagi pada pelaksanaan pemilihan umum yang penuh kecurangan serta
para elit politik yang cenderung mementingkan kepentingan masing-masing
daripada kepetingan umum dengan selalu mangatasnamakan rakyat untuk mendapatkan melegitimasi pendapatnya. Money politic pun menjadi
sesuatu yang lumrah disamping karena penegakan hukumnya yang lemah tapi
juga karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup dibawah garis
kemiskinan sehingga stimulus berupa uang sangatlah berharga bagi mereka
adapun para ahli berpendapat kalau Indonesia ingin melaksanakan demokrasi subtansial maka masyarakatnya harus sejahtera semua.
Semakin
seseorang merasa nyaman dengan jabatan atau kekuasaan yang diembangnya
maka dia akan cenderung mempertahankan kekuasaan tersebut sehingga berakibat
pusat-pusat kekuasan hanya berputar dikalangan mereka dan secara
alamiah akan menutup peluang kaum muda yang memiliki visi dan misi untuk
berkiprah, seolah partai politik merupakan satu-satunya sumber
kepemimpinan.
Para kepala daerah begitu selesai masa jabatannya, mendorong (kuasa gono-gini) istri, saudara dan anaknya untuk menggantikannya sebagai kepala daerah atau malah mencalonkan diri lagi untuk jabatan yang berbeda demi melanggengkan kekuasaannya (politik dinasty).
Mantan Walikota Surabaya Bambang DH misalnya yang habis masa jabatannya
selama 2 periode masa jabatan (10 tahun) malah mencalonkan lagi tapi
untuk cabatan Wakil Walikota Surabaya dan banyak lagi sebenarnya kasus
kuasa gono-gini, padahal seyogyanya dalam berpolitik diperlukan
kebijaksanaan karena modal dasar dalam berpolitik adalah etika namun
etika dan moral seolah menghilang dalam diri para pemimpin bangsa ini.
Dan
kita melihat begitu banyak kasus korupsi yang menggerogoti iklim
berdemokrasi bangsa ini. Lihat saja disemua level kekuasaan baik itu
legislatif, yudikatif, dan eksekutif ramai-ramai berkorupsi tanpa
melihat akibat buruk dari kejahatan korupsi.
Oleh karena itu perlu perubahan yang signifikan dalam kehidupan
berdemokrasi bangsa ini, harus ada pengawasan yang efektif serta
penanaman moral sejak dini kepada seluruh masyarakat indonesia.
Menuju
sistem demokrasi yang ideal tentu butuh proses yang tidak sebentar tapi
jangan sampai dalam perjalanannya ada yang dikorbarkan dan optimisme
akan Indonesia yang lebih baik harus tetap ditanamkan, walaupun
kenyataannya saat ini banyak terjadi kegaduhan politik, dimulai dari
kasus century, hambalang dll.
No comments:
Post a Comment