Saturday, May 11, 2013

Sistem Politik Demokrasi

Indonesia merupakan negara demokrasi konstitusional yakni negara yang mengedepankan proses berdemokrasi tapi juga berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum (konstitusi), ditandai dengan adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum.
Negara Indonesia menganut konsep pembagian kekuasaan Montesquieu (1689-1785) (trias politica) yang membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang (eksekutif) yang dilaksankan oleh pemerintah dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif) yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial KY yang bukan lembaga kekuasaan kehakiman, tetapi lembaga negara yang tugasnya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim dengan demikian, KY adalah lembaga negara yang dibentuk melalui konstitusi untuk melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim.
Ketiga kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya. Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja Bourbon. Oleh karena itu jika kinerja kekuasaan kehakiman buruk, maka akan berimplikasi buruk bagi negara hukum atau bisa dikatakan meniadakan hukum dan mengedepankan kekuasaan dalam bernegara (machtstaat).
Dalam konteks kekinian, sesungguhnya Indonesia tidaklah demokratis melainkan bergeser ke oligarkis. Dimana pusat-pusat kekuasaan dikuasai oleh sekelompok orang. Di dalam politik oligarkis agenda-agenda politik ditentukan dan diperjualbelikan melalui transaksi-transaksi politik dengan uang maupun jabatan sehingga kita melihat orang-orang yang menduduki jabatan publik itu-itu saja dan parahnya lagi keberadaan mereka tidak mendatangkan perubahan yang signifikan terhadap keamanan dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Mahfud MD Pada tahun pertama dan kedua pasca reformasi tampak konfigurasi politik sedikit berubah menjadi demokratis, sehingga dalam waktu yang relatif singkat produk hukum ortodoks dibongkar. Dimulai pada level Undang-Undang sehingga kita dapat melihat pergantian Undang-Undang (UU) Kepartaian, UU Perwalian, UU Pemilu, UU Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, dan sebagainya. Namun demikian setelah dua tahun pasca reformasi konfigurasi politik bergeser oligarkis.
Demokrasi yang mengedepankan partisipasi publik dengan slogan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat sesungguhnya berjalan ditempat atau malah bisa dikatakan berjalan buruk karena pelaksanaan demokrasi di Indonesia cuma kulitnya saja sedangkan subtansi dari berdemokrasi belum tercapai. Dapat dilihat pada produk legislasi DPR yang seharusnya melindungi masyarakat bawah (kaum proletar) melalui produk hukumnya malah banyak mengabaikan hak-hak mereka sehingga produk hukum yang dihasilkan bersifat ortodoks. Padahal DPR merupakan representasi semua rakyat Indonesia bukan representasi masyarakat kelas atas (kaum borjuis).
Produk hukum yang responsif harus memenuhi unsur sosiologis, filosofis dan yuridis karena sebuah undang-undang bisa dilaksanakan bila memenuhi tiga aspek, yaitu aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan kebanyakan para legislator kita hanya mengedepankan aspek yuridis dan mengabaikan aspek filosofis dan sosiologis, sehingga banyak eksistensi hukum negara yang terkesan percuma atau tidak ditaati oleh masyarakat, misalnya UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang tidak berlaku efektif di provinsi Bali karena pada dasarnya Indonesia masyarakatnya mejemuk namun seringkali pembentuk undang-undang melakukan penyederhaan permasalahan dan melakukan penyeragaman padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya.
Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara, yakni: (a) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia, (b) memajukan kesejahteraan umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa, (d) melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, namun yang terjadi adalah penghianatan terhadap tujuan negara untuk kepentingan golongan tertentu.
Bahkan MK selama kurun waktu 9 tahun terkahir telah membatalkan 322 pengajuan Undang-Undang dari total 46 yang diajukan ditingkat MPR dan DPR sebagai produk perundang-undangan. Selama berdirinya MK, ada 460 UU yang di judicial review, MK mengabulkan 138 UU atau sekitar 27 persen dari jumlah total penganjuan Undang undang, ini menandakan buruknya proses legislasi DPR dalam membuat peraturan perundang-undangan.
Beda lagi pada pelaksanaan pemilihan umum yang penuh kecurangan serta para elit politik yang cenderung mementingkan kepentingan masing-masing daripada kepetingan umum dengan selalu mangatasnamakan rakyat untuk mendapatkan melegitimasi pendapatnya. Money politic pun menjadi sesuatu yang lumrah disamping karena penegakan hukumnya yang lemah tapi juga karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan sehingga stimulus berupa uang sangatlah berharga bagi mereka adapun para ahli berpendapat kalau Indonesia ingin melaksanakan demokrasi subtansial maka masyarakatnya harus sejahtera semua.
Semakin seseorang merasa nyaman dengan jabatan atau kekuasaan yang diembangnya maka dia akan cenderung mempertahankan kekuasaan tersebut sehingga berakibat pusat-pusat kekuasan hanya berputar dikalangan mereka dan secara alamiah akan menutup peluang kaum muda yang memiliki visi dan misi untuk berkiprah, seolah partai politik merupakan satu-satunya sumber kepemimpinan.
Para kepala daerah begitu selesai masa jabatannya, mendorong (kuasa gono-gini) istri, saudara dan anaknya untuk menggantikannya sebagai kepala daerah atau malah mencalonkan diri lagi untuk jabatan yang berbeda demi melanggengkan kekuasaannya (politik dinasty). Mantan Walikota Surabaya Bambang DH misalnya yang habis masa jabatannya selama 2 periode masa jabatan (10 tahun) malah mencalonkan lagi tapi untuk cabatan Wakil Walikota Surabaya dan banyak lagi sebenarnya kasus kuasa gono-gini, padahal seyogyanya dalam berpolitik diperlukan kebijaksanaan karena modal dasar dalam berpolitik adalah etika namun etika dan moral seolah menghilang dalam diri para pemimpin bangsa ini.
Dan kita melihat begitu banyak kasus korupsi yang menggerogoti iklim berdemokrasi bangsa ini. Lihat saja disemua level kekuasaan baik itu legislatif, yudikatif, dan eksekutif ramai-ramai berkorupsi tanpa melihat akibat buruk dari kejahatan korupsi. Oleh karena itu perlu perubahan yang signifikan dalam kehidupan berdemokrasi bangsa ini, harus ada pengawasan yang efektif serta penanaman moral sejak dini kepada seluruh masyarakat indonesia.
Menuju sistem demokrasi yang ideal tentu butuh proses yang tidak sebentar tapi jangan sampai dalam perjalanannya ada yang dikorbarkan dan optimisme akan Indonesia yang lebih baik harus tetap ditanamkan, walaupun kenyataannya saat ini banyak terjadi kegaduhan politik, dimulai dari kasus century, hambalang dll.

 

No comments:

Post a Comment