Ekonomi
politik pada dasarnya diambil dari bahasa Yunani yaitu polis yaitu
sebuah kota atau unit politik dan oikonomike yang maknanya menuju
manajemen rumahtangga. Kalaborasi kedua ini yang dikawinkan yang
kemudian melahirkan istilah ekonomi politik. Kaitan kedua istilah ini
menunjukkan betapa eratnya keterkaitan faktor-faktor produksi, keuangan
dan perdagangan dengan kebijakan pemerintah dibidang moneter, fiskal dan
komersial.
Namun
istilah ekonomi politik sebenarnya pada dasarnya interaksi antara kedua
bidang ekonomi dan politik, yang pada awalnya lebih fokus kepada ilmu
untuk mengelola perekonomian dengan ilmu untuk mengelola pemerintahan.
Tapi menurut penulis pada intinya di dalam nilai atau aspek ekonomi ada
kepentingan politik. Biasanya kepentingan atau daya magnet politik
cenderung lebih kuat dari pada magnet ekonomi.
Dalam
ilmu ekonomi masih mengadopsi pendekatan ilmu eksaks yang biasanya
mengunakan teknikal analisis. Ekonomi dan politik berada
ditengah-tengahnya yang biasanya mengunakan data kualitatif dan data
kuantitatif.
Ketika
kita berbicara ekonomi maka, istilah yang sering muncul atau kata-kata
yang tidak lepas dari unsur PDB, komsumsi, investasi, fiskal, moneter,
ekspor dan impor semua yang ditulis diatas adalah bahasa atau istilah
yang akrab ditemukan dalam diskusi atau berbicara ekonomi itu sendiri,
yang tentu berbeda dengan politik, istilah yang akan kita temukan adalah
negara, idiologi, kelompok dan elit.
Adapun
yang menjadi pertanyaan oleh kita kemudian adalah, kenapa muncul
istilah ekonomi politik? dua hal yang berbeda tapi terjadi perkawinan
dua ilmu yang berbeda, ekonomi lebih kepada kuantitatif sementara
politik lebih cenderung kepada kualitatif, tapi apa sebenarnya motif
dari ekonomi politik itu sendiri? Menurut penulis bahwa didalam motif
ekonomi selalu ada yang namannya motif politik yang tidak bisa di
pungkiri.
Namun
yang jelas, ekonomi politik pada hakikatnya adalah melihat hubungan
timbal balik antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik, namun
setelah kita melihat indikator perbedaan antara ekonomi dan politik
tentu juga ada persamaan antara dua ilmu ini, yaitu sama-sama untuk
mencapai kepuasan, ketika orang sudah kaya atau sudah bosan dengan
kekayaan tersebut maka mereka mencoba merubah kebosanan dengan masuk
atau terjun ke ranah politik.
Maka
tidak heran sekarang, lebih dari 60% yang ada di parlemen kita sekarang
berasal dari pengusaha, dan tidak heran juga kenapa banyak calon kepala
daerah yang bertarung dalam pilkada, sumbangan mengalir banyak dari
para pengusaha, sehingga ketika calon kepala daerah ini terpilih akan
memudahkan akses ekonomi bisnis proyek para pengusaha, sekali lagi motif
ekonomi dan politik dua hal yang berbeda tetapi sulit untuk dipisahkan
karena ilmu ini selalu akan terjadi interaksi karena kepentingan itu
tadi.
Market : Ekonomi
|
State: Negara
|
|
|
Pendekatan Ekonomi Politik
Terdapat
cukup banyak jenis pendekatan atau studi mengenai interaksi antara
ekonomi dan politik, yang kemudian semuanya mendapat label ”ekonomi
politik moderen”. Antara lain pendekatan marxis, pendekatan teori
sistem, pendekatan institusional atau tradisional, hingga pendekatan
pilihan publik. Ada juga yang berpendapat bahwa ekonomi politik moderen
itu pada dasarnya penerapan dari suatu metode pokok, yakni model ekonomi
mengenai preferensi. Namun pendekatan ekonomi politik moderen lebih
cenderung pada pola hubungan timbal balik atau resiprositas antara
politik dan ekonomi dalam pengertian yang seluas-luasnya
Neo Marxisme
Pendekatan
ini lebih fokus atau menyeluruh dan menekankan pada aspek-aspek makro
dari sistem ekonomi dan sistem politik, kita tentu masih ingat dengan
teori ketergantungan misalnya (dependenct theory)[1].
Ada
yang mengatakan bahwa model ekonomi politik Neo-Marxis yang mengacu
kepada konsepsi dunia itu sangat lemah karena tidak didukung oleh dunia
emperis bahkan sulit untuk diuji, jika ini benar berarti Neo Marxis
telah mampu memacu berkembangnya cabang di bidang studi ekonomi dan
politik, yaitu pendekatan komperatif terhadap perbedaan unsur ekonomi
dan politik dari suatu negara dibandingkan dengan yang ada di dalam
negara-negara lain.
Tingkat Kelimpahan Dan Faktor-Faktor Politik
Tema Pembangunan politik cukup banyak mendapat perhatian dalam ilmu politik komparatif (comparative Politics),
namun ada masalah dalam perjalanan perkembangannya kerana ilmu politik
masih belum memiliki konsep pembangunan politik, sejelas pembangunan
ekonomi yang dapat diukur dengan angka-angka, yang dapat diukur
berdasarkan tingkat pertumbuhan keseluruhan output atau perekonomian
atau pendapatan masyarakat, upaya pengantian konsepsi perubahan politik
yang multidimensional dengan konsep spesifik pembangunan politik sampai
sekarang belum jelas, karena konsep pembangunan politik masih diliputi
ketidakjelasan, bahkan keberadaan konsepnya juga masih diperdebatkan[2].
Studi Komperatif Sistem Sistem Politik
Seymour Martin Lipset dalam sebuah artikel yang terkenalnya diterbitkan pada tahun 1959 yang kemudian dibahas mendalam dalam politics and markets
(1977). Intinya Lipset mempertanyakan keberadaan antara organisasi
demokratis dari suatu rezim dari keseluruhan sistem, pada ekonomi dalam
masyarakat, namun ada sesuatu yang mengungulinya yaitu sistem ekonomi
pasar dengan sistem ekonomi serba terencana, memang tidak sukar untuk
melihat negara yang mengunakan sistem ekonomi terencana, dimana alokasi
ada ditangan pemerintah dan negara mana saja yang menyerahkan ekonomi
mekanisme ke pasar.
Namun
yang menjadi masalah kemudian adalah, akan sulit kemudian negara yang
mengunakan sistem ekonomi campuran, Artinya adalah pasar dengan
pemerintah sama mengelola perekonomian nasional. Runtuhnya komonisme di
Negara-Negara Eropa Timur sejak tahun 1989 turut mengaburkan pemilahan
antara sosialisme dan kapitalisme.
Faktor-Faktor Ekonomi Politik
Tidak
jarang kita pernah mendengar besarnya pengaruh politik dalam ekonomi,
baik dalam institusi politik maupun kebijakan pemerintah terhadap
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan publik pemerintah dibidang industri
sangat besar pengaruhnya terhadap perintisan terhadap perkembangan yang
biasa disebut Rostow, tahap tinggal landas, hasil tesis Olson mengatakan
bahwa kepolitikan nasional (Institusioanl sclerosis) di suatu negara menyebabkan merosotnya rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu.
Kemudian
yang menjadi pertanyaan oleh penulis adalah bagaimana dengan sistem
ekonomi yang di bangun di negeri ini? Indonesia memiliki sumber daya
alam yang kaya tapi rakyatnya jauh dari kemapanan, padahal kekayaan
negera dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, dimana letak
kesalahan sistem yang kita bangun? Relatif sulit semua yang di kelolah
pemerintah maju, hampir rata-rata perusahan badan usaha negara rugi dan
sulit untuk berkembang, PLN dan pertamina, krakatau still.
Nasionalisasi
perusahaan tidak mampu menjadikan kita menjadi bangsa yang mandiri,
hampir relatif sedikit sekali badan usaha negara kita yang bisa bertahan
lama, entah kapan atau bisa jadi basok gulung tikar, ini sangat bahaya
ketika ini diambil oleh pasar, maka pengalaman kita ketika menjual
indosat, terbukti sekarang pulsa menjadi mahal, karena harga telah
didominasi oleh swasta, negara seakan tidak berdaya dalam menghadapi ini
semua.
Kalau
kita komperatifkan dengan Cina misalnya, sampai sekarang masih banyak
perusaahan negara yang bertahan, dan mampu mensejahterakan rakyatnya.
Indonesia kalau kita lihat secara sepintas sedang menuju neo liberalisme
yang tidak lagi terkontrol, Perguruan tinggi juga tidak terlepas dari
produk neo-liberalisme.
Sekedar
mencontohkan kepentingan atau magnet politik lebih kuat dari magnet
ekonomi itu sendiri, artinya ekonomi kerakyatan tersandera oleh politik.
Yang membuat RUU migas misalnya di buat oleh Usaid atau
bule-bule asing bersama LSM, dari pihak asing dititipkan kata-kata
dibeli untuk kepentingan usaha atau bisnis mereka, berkembangnya
perusahaan asing di Indoensia tentu akan merugikan dan berbahaya
terhadap migas di negeri ini.
Kenapa
ini semua bisa terjadi, karena politisi kita di legislatif telah
menjual negara ini ke asing, ketika peran negara dibatasi , paling tidak
ini analisis penulis tentang kajian ekonomi dan politik. Kita masih
banyak belajar dengan Cina, sampai sekarang masih banyak perusahan
Negara mereka yang maju, sampai kareta api sekarang di Cina masih murah,
dan dikelo dengan baik, tapi bagaimana dengan Indonesia yang perusahaan
negara selalu rugi.
Kenapa?
No comments:
Post a Comment